Abu Syuja’ berasal dari Isfahan,
salah satu kota di Persia, Iran. Syaikh al-'Alim
al-'Allaamah al-Imam Syihabud Dunya wa al-Din, Ahmad bin Husain bin Ahmad
al-Ashfahani asy-Syafi`i rahimahullah yang lebih dikenali sebagai Qadhi Abu
Syuja` atau Qadhi Abu Thayyib adalah seorang ulama besar dalam mazhab
asy-Syafi`i. Beliau
dilahirkan di Bashrah. Tarikh lahir dan wafatnya tidak
diketahui dengan pasti. Ada yang menyatakan beliau lahir dalam tahun 328H dan
wafat pada tahun 488H, manakala pendapat lain menyatakan bahwa beliau lahir
tahun 433H dan wafat tahun 593H.
Pernah menjabat sebagai menteri pada
dinasti Bani Saljuk tahun 447H/1455M, sehingga dikenal dengan julukan Syihabuddunya
waddin (bintang dunia dan agama). Di saat itu, ia dapat menyebar luaskan
agama dan keadilan. Kebiasaannya, tak pernah keluar rumah sebelum shalat dan
membaca al-Qur’an sedapat mungkin.
Dalam urusan kebenaran, ia tak
pernah gentar akan caci maki, hujatan dan kecaman dari siapapun, baik pejabat
atau penjahat. Ketika menjabat sebagai menteri, Abu Syuja’ sangat dermawan. Ia
mengangkat sepuluh orang pembantu untuk membagi-bagikan hadiah dan sedekah.
Mereka diserahi seratus dua puluh ribu dinar. Uang sebanyak itu dibagi-bagikan
kepada para ulama dan orang-orang yang saleh.
Abu Syuja’ adalah pakar fikih mazhab
Syafi’i. Di Bashrah ia mendalami mazhab fikih yang dipelopori Imam Syafi'i
selama ini, empat puluh tahun tahun lebih, sehingga menjadi pakar fikih madzhab
Syafi’I. Setelah hidup dalam kenyamanan, beliau memilih
menempuh jalan "zuhud" meninggalkan kenikmatan duniawi lantas berhijrah
ke Madinah dan menetap di Masjid Nabawi. Menyapu, merapikan tikar dan
menyalakan lentera
Masjid Nabawi merupakan aktivitas rutinnya setiap hari.
Setelah salah satu marbot utama Masjid Nabawi meninggal, beliau menggantikan
tugas-tugasnya jalankan tugas tersebut sampai akhir hayatnya. Abu Suja’ meninggal di Madinah. Jenazahnya
dimakamkan di Masjid yang ia bangun sendiri di dekat Bab Jibril, sebuah
tempat yang pernah disinggahi malaikat Jibril. Letak kepalanya berdekatan
dengan kamar makam Nabi dari sebelah timur.
Allah menganugerahkan usia panjang
kepada tokoh besar ini. Selama 160 tahun lamanya ia menghirup udara dunia. Akan tetapi
dalam jangka waktu yang sangat panjang itu, tak satupun dari anggota tubuhnya
yang cacat. Ketika ditanya mengenai rahasianya, beliau menjawab: “Aku tidak
pernah menggunakan satupun dari anggota tubuhku untuk bermaksiat kepada Allah.
Karena pada masa mudaku aku meninggalkan maksiat, maka Allah menjaga tubuhku di
usia senja.”
Penjelasan riwayat hidup Abu Syuja’
yang diurai diatas disebut dalam beberapa kitab syarah Fath al-Qorib dan
dikutip oleh beberapa orang. Tampaknya, semua sepakat bahwa Abu Syuja’ lahir
pada tahun 433 H. Tapi, mengenai tahun wafatnya masih diperselisihkan oleh
beberapa kalangan. Yang menarik al-Bajuri menyebutkan bahwa Abu Syuja’ wafat
pada tahun 488 H. Padahal dalam redaksi lainnya ia menyebut persis seperti
pesyarah yang lain. Haji Khalifah dalam Kasyf az- Zhunun menuturkan
bahwa Abu Syuja’ meninggal pada tahun 488 H.
Dalam pernyataan bahwa Abu Syuja’
pernah menjabat sebagai wazir pun masih perlu diselidiki kebenarannya.
Sumber-sumber kitab sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu memang ada seorang
wazir berjuluk Abu Syuja’. Ia dikenal adil dan alim. Ia juga mengarang kitab Takmilah
li-Kitab Tajarid al-Umam karya Ibnu Miskawaih. Ia juga bermazhab Syafi’i
dan berguru pada Syekh Abu Ishaq as-Syirazi di Baghdad. Disebutkan pula bahwa
ia terlahir pada tahun 437 H dan wafat pada 488 H. Tahun wafat itu sama dengan
yang dsebut oleh al-Bajuri dan Haji Khalifah. Di sinilah timbul kekaburan.
Namun Abu Syuja’ sang wazir itu
tidak bernisbah al-isfahani. Nisbahnya adalah ar-Rudzarawari. Namanya pun
berbeda. Sang wazir itu bernama Muhammad al-Husain bin Muhammad bin Abdillah
bin Ibrahim. Sedang Abu Syuja’, pengarang Taqrib, bernama Ahmad bin
al-Husain binAhmad bin al- Isfahani. Hanya saja, kedua orang itu bertepatan
berkunyah sama yaitu Abu Syuja’. Dalam kitab-kitab sejarah juga disebutkan
bahwa Abu Syuja’, sang wazir Dinasti Abbasiyah, wafat di madinah. Hal ini
semakin menguatkan dugaan bahwa kedua orang itu berbeda.
Mungkin saja para pesyarah fath
al-Qorib seperti al-Bajuri, Syek Nawawi Banten dan Majid al-Humawi ikut
pada al-Bujairimi yang salah satu dari ad-Dairobi. Yang lebih baik adalah
mempercayai apa yang ada dalam Thabaqat as-Syafi’iyah karya as-Subki dan
Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah yang menyebut keduanya terpisah dan berbeda.
Ghayah al-Ikthishar yang dikarang oleh Abu Syuja’
termasuk karya terindah mengenai pokok-pokok fikih. Kitab yang lebih dikenal
dengan sebutan Taqrib ini, mencakup permasalahan yang luas meskipun
bentuknya kecil. Seorang ulama mengubah bait-bait syair, memuji Abu Syuja’ dan
karya monumentalnya, Ghayah al-Ikhtishar, yang lebih popular dengan
sebutan Taqrib:
Wahai yang menghendaki faidah
berkesinambungan
Demi peroleh keluhuran dan
kemanfaatan
Dekatilah ilmu-ilmi itu
Jadilah kau pemberani
Dengan Taqribnya (pendekatan)
Abi Syuja’ (bapak para pemberani)
Karena padat dan pentingnya isi
kitab ini, para imam berpacu mensyarahi, mengomentari, memberi catatan kaki
serta merumuskannya dalam bait-bait nazam. Di antaranya syarah-syarah tersebut
ialah:
- Kifayah al-Akhyar fi Syarh al-Ikhtisar, karya Imam Taqiyuddin bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi, wafat 829 H. Kitab ini sebanyak dua jilid.
- al-Iqna’ fi Hall Alfazh Abi Syuja’, karya al-Khatib al-Syarbini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar